Latest News

More

WALHI

Posted by : Ki Juru Ketik on : Friday, April 20, 2012 0 comments
Ki Juru Ketik
Saved under :
Kelahiran Walhi sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.
Gerakan Walhi di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public relation,” yaitu memperkenalkan Walhi ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. (Refleksi Umum 1980 –1992 dalam Laporan Kegiatan WALHI Periode 1989 – 1992). Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman, seperti Iwan Fals, Sam Bimbo, Ully Sigar Rusady, dan lain-lain. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai perlombaan, misalnya, menggambar, menciptakan lagu, dan karya tulis ilmiah.
Perlahan Walhi mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah. Walhi mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Menurut Koesnadi, Kelompok Sepuluh dan Walhi sudah dimintakan pendapatnya sejak awal bahkan dalam pembahasan RUU lingkungan hidup menjelang penyerahan draft final ke sekretariat negara. Mereka bekerja tiga hari tiga malam bersama para akademisi menyusun draft undang-undang di lantai 6 Gedung Kementerian Lingkungan. Pembahasan RUU Lingkungan Hidup itu sudah dimulai tahun 1976, bersamaan waktunya dengan permintaan pemerintah Amerika Serikat kepada USAID (US Aid for International Development) agar mulai melengkapi laporannya dengan analisa dampak lingkungan dari setiap proyek bantuan dan hibah mereka (Envi. Planning and Management, Proceeding, ADB, 1986).
Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga swadaya masyarakat lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982. Masukan yang kemudian diadopsi dalam undang-undang tersebut adalah pasal 6 tentang peran serta masyarakat.
Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum Walhi, karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik ulur. Meski tak bias dianggap bergandengan tangan, namun pelaksanaan PNLH II Walhi di Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI- Angkatan Darat di Bandung, dianggap sebagai sebuah tali persahabatan antara pemerintah dan WALHI.
Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat (Erna Witoelar, kom. Pribadi).
Untuk mendukung pembiayaan program-progam lingkungan hidup, dibentuklah Yayasan Dana Mitra Lingkungan (DML) tanggal 27 Oktober 1983. Pendirian DML dimulai dengan pernyataan sikap oleh para pendirinya, seperti Soemitro Djojohadikusumo, Jakob Oetama, Erna Witoelar, dan Haroen Al Rasjid.
Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun 1982, WALHI ditandai dengan kenaikan anggota LSM yang mengalami booming yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada tahun 1980, tercatat 320 pada tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari 400 LSM. Ketika Walhi melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III tahun 1986, dari 486 LSM lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam Walhi. (Tanah Air, Edisi Khusus, April 1986 No.61 tahun VI) .
Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya.
Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-isu utama termasuk liputan pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi berita sampul majalah Tempo. Tahun 1984 Walhi dan penerbit Sinar Harapan menyelesaikan laporan Neraca Tanah Air yang ditulis secara populer dan menyajikan kondisi lingkungan hidup secara komprehensif. Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM bahwa wartawan dan media massa memegang peranan yang penting sebagai corong kegiatan lingkungan. Dengan dukungan beberapa wartawan senior, seperti Aristides Katoppo, dilakukan kursus jurnalistik lingkungan hidup tingkat nasional. Bahkan, Walhi mulai menerbitkan Warta Tanah Air.
Dalam forum-forum resmi tahun 1980-an, aktivis-aktivis WALHI tetap dinyatakan apolitis. Emil Salim dalam pembukaan PNLH III kembali mengulang keinginan pemerintah terhadap LSM dengan lebih halus, bahwa salah satu ikatan kuat yang menyatukan LSM dalam Walhi --dengan demikian eksistensi Walhi, karena tidak ada pamrih politik dan pamrih jabatan. Walaupun para aktivis tidak frontal menentang penilaian itu, tetapi mulai ada usaha untuk membuka orientasi baru gerakan LSM lingkungan, antara lain keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan (Warta Tanah Air......idem, hal. 7-8).
Tahun 1996, pertama kalinya WALHI membuat laporan tahunan yang komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Ini bertujuan untuk membuka seluas-luasnya WALHI kepada masyarakat. Keterbukaan bagi WALHI sangat penting karena masih ada tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa WALHI condong pada kepentingan luar negeri (asing) dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan, masyarakat bisa mengetahui apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau kepada kepentingan lingkungan dan demokratisasi di Indonesia (Emmy Hafild, wwc pribadi).
Mengawali tahun 2000, WALHI terus bergerak maju dan konsisten dengan perjuangan penegakan lingkungan. WALHI melihat bahwa tantangan makin kuat, meski demikian WAHI tak surut. Bukan terlalu optimis, namun, 20 tahun usia WALHI masih menunjukkan konsistensi dan arah gerakan yang jelas.
Saved under :

No comments:

Leave a Reply