Pemerintah mencanangkan kalau pendidikan harus merata di semua lapisan masyarakat. Karenanya, berbagai upaya dilakukan pemerintah agar visi itu bisa terwujud. Untuk menjangkau daerah-daerah jauh dari pusat pelayanan pendidikan pemerintah mendirikan sarana sekolah dan kelompok-kelompok belajar marginal, dari kota hingga ke desa.
Laporan DESRIANDI CANDRA, Pekanbaru
DATA Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Riau, saat ini ada sekitar 77 kelompok belajar (Pokjar) marjinal. Dari jumlah itu, jumlah kelompok belajar anak marginal paling banyak ada di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu) yang mencapai 18 kelompok belajar, sementara yang paling sedikit ada di Kabupaten Kepulauan Meranti dengan satu Pokjar.
Keberadaan Pokjar marjinal ini, tidak hanya ada di daerah yang jauh dari perkotaan. Buktinya, di Kota Pekanbaru tercatat lima Pokjar marjinal. Namun, kebanyakan karakteristik peserta didiknya berasal dari anak keluarga miskin dan putus sekolah.
‘’Tapi tidak semua daerah di Provinsi Riau yang memiliki Pokjar marjinal ini seperti di Kabupaten Bengkalis dan Kota Dumai,’’ ungkap Kepala Disdikbud Riau Drs HM Wardan MP melalui Kabid Prasekolah, Sekolah Dasar dan Sekolah Luar Biasa, H Hadimiharja SPd MP, ketika berbincang dengan Riau Pos, Senin (13/3) lalu.
Menurut dia, jumlah peserta didik Pokjar marjinal di Riau mencapai 1.500 orang. Jumlah paling banyak ada di jenjang Sekolah Dasar (SD) mencapai 1.196 orang. Sementara SMP 304 orang. Jumlah ini berkurang dibandingkan tahun 2010 mencapai 1.700 orang dan masih sama dengan tahun 2011 lalu. Jumlah tersebut, masih terbilang banyak dibandingkan dengan tahun 2009 yang hanya 1.301 siswa.
Untuk memberikan pendidikan pada peserta didik anak-anak Pokjar marjinal, Disdikbud Riau memiliki 210 orang guru honor. Satu kelompok belajar idealnya terdiri dari dua orang guru. Kedua guru inilah yang akan berbagi mengajar di semua mata pelajaran. ‘’Tak heran kinerja para guru lebih menantang,’’ ungkapnya.
Ironisnya, tambah dia dari 210 orang guru tersebut masih banyak yang latar belakang pendidikannya belum memadai. Baru sekitar 50-an guru yang ditugaskan mendidik Pokjar marjinal ini yang telah menuntaskan pendidikan S1-nya, selebihnya masih berpendidikan Diploma dan SMA.
Untuk memenuhi kualifikasi dan kompetensi sebagai pendidik, maka Disdik Riau setiap tahun melakukan pembinaan melalui kegiatan penataran dan workshop pembelajaran.
Meskipun marjinal, Hadimiharja mengatakan kalau kurikulum yang digunakan sama dengan anak-anak sekolah formal lainnya. Mereka belajar setiap hari dan mengikuti ujian nasional bersamaan dengan sekolah formal lainnya.
Namun terkadang proses belajar mengajar harus memperhatikan situasi dan kondisi keseharian. Karena ada beberapa sekolah yang sulit dijangkau apabila turun hujan. Karena lokasinya mencapai puluhan kilometer dan medan jalan menuju lokasi yang sulit.
Persentase Kelulusan Tinggi
Meski dengan serba terbatas, output dari kelompok Pokjar marjinal ini ternyata cukup baik. Setidaknya dari hasil ujian nasional beberapa tahun ini, persentase kelulusan siswa sekolah marjinal cukup tinggi. Untuk tingkat SD, kelulusan mencapai 100 persen, SMP 90 persen. ‘’Persentase kelulusan ini, berasal dari laporan pemerintah kabupaten/kota pada Disdikbud Riau,’’ ujarnya.
Tahun 2012, Disdik Riau telah menganggarkan kurang lebih Rp2.748.585.000, anggaran ini turun jika dibandingkan tahun 2011 mencapai Rp3.750.000.000 untuk biaya kelompok belajar marginal. Dana tersebut di antaranya untuk membantu biaya peningkatan pendidikan guru, honor guru, honor pengelola tingkat kecamatan, kabupaten dan sekolah induk.
Kalau pun terbilang eksis, bukan berarti pelaksanaan program kelompok marjinal tidak mengalami kendala. Berdasarkan pengamatan di lapangan, kelompok belajar marjinal terkendala dengan ketidakberdayaan ekonomi peserta didiknya. Disamping itu, tidak semua anak di daerah tersebut dibebaskan mengikuti pendidikan, ada juga orangtua yang menganggap pendidikan kurang penting.
‘’Karenanya, Disdik Riau merasa perlu menggencarkan sosialisasi pentingnya pendidikan,’’ ungkapnya lagi.
Kendala lain kondisi geografis daerah Pokjar marjinal yang sulit dijangkau. Dengan kondisi ini, guru terkadang terlambat untuk mengajar bahkan terkadang guru tidak bisa mengajar, karena lokasi sekolah yang sulit dijangkau.
Menjawab tentang apa sasaran sekolah marjinal? Hadimiharja menjelaskan, setidaknya sekolah ini pada kelompok anak usia 7-12 tahun dan 13-15 tahun yang belum bersekolah dan atau yang putus sekolah disebabkan kemiskinan, kantong-kantong pemukiman penduduk yang sulit terjangkau oleh akses pendidikan dan media informasi disebabkan geografis daerah berdomisili.
Sistem belajar anak-anak sekolah marjinal mengikuti jam belajar sistem pendidikan nasional, belajar dilakukan sesuai kelompok belajar, pengelompokan dilakukan berdasarkan umur, kemampuan belajar. ‘’Proses belajar dilakukan sesuai dengan beban belajar dan kelender pendidikan,’’ tuturnya.
Proses pembelajaran dibimbing guru yang disebut guru huni, proses belajar diarahkan pada proses belajar mandiri, evaluasi belajar dilakukan di kelompok belajar guru huni, serta UN dilaksanakan disekolah induk.(gem)
sumber: riau pos
No comments: