KBR68H - Usia dini adalah periode emas memupuk dan mempraktikan nilai-nilai dasar. Pendidikan anak usia dini yang komprehensif dan berkualitas dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perkembangan fisik, psikomotorik, kognitif, sosial dan emosional anak. Termasuk kemampuan berbahasa dan kemampuan membaca sejak dini. Namun sayang di Indonesia pendidikan usia dini belum dianggap penting.

Koordinator Nasional CSOiEFA (Civil Society Organizations in Education for All) Titik Hartini mengatakan berbagai elemen belum paham soal pentingnya pendidikan usia dini. Pendidikan usia dini adalah proses pembelajaran baik dari dalam keluarga hingga lingkungan. “Pemerintah dan berbagai kalangan harus kita dorong,” ujar Titik Hartini. Periode anak usia dini mencakup umur 0-8 tahun. Usia itu bisa dikelompokkan menjadi tiga kelompok umur khusus. 0-3 tahun, 3-5 tahun (tahun-tahun sebelum sekolah dasar), dan 6 - 8 tahun (masa-masa awal dari sekolah dasar). Di antara kelompok itu usia 0-3 tahun adalah yang paling sering terabaikan.
Kendala Pendidikan Anak Usia Dini
Di Indonesia pendidikan usia dini makin menjamur. Pendidikan usia dini kebanyakan diinisiasi oleh masyarakat bukan pemerintah. Inipula sebabnya Pendidikan Usia Dini (PAUD) belum terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional. “Belum memiliki standar kurikulum yang sama untuk setiap PAUD di berbagai daerah. Termasuk gurunya ,” terang Koordinator Nasional CSOiEFA Titik Hartini.
Sementara catatan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebutkan perlindungan anak dalam hal pendidikan belum menjadi arus utama di dalam kebijakan pemerintah. Baik di pusat maupun di daerah. “Ini hanya menempel saja dengan program lain. Perencanaan tidak dari awal. Hasil akhirnya pun tak jelas,” ujar Anggota KPAI Maria Advianti. Padahal hak anak untuk mengakses pendidikan di jamin dalam Undang-Undang Perlindungan Anak. “Negara, pemerintah, orangtua, semua pihak harus memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi pendidikan anak, di dalamnya juga termasuk pendidikan usia dini,” tegas Maria Advianti.
Berbagai elemen masyarakat di pusat dan daerah hanya paham perlindungan terhadap anak hanya sebatas melindungi mereka dari kekerasan. Padahal terjaminnya hak pendidikan bagi anak merupakan bagian dari perlindungan terhadap anak. “Mereka tak paham bahwa perlindungan anak termasuk di dalamnya; kesempatan belajar yang sama, tumbuh kembang, hak bersuara, berpartisipasi, berkreasi,” sebut Maria Advianti. Hal inilah yang menyebabkan pemerintah belum mengarus utamakan pendidikan usia dini lewat berbagai kebijakan dan programnya. “Itu akibatnya,” sebut Maria Advianti.
Dimulai Dari Keluarga
Koordinator Nasional CSOiEFA Titik Hartini mengatakan pendidikan usia dini bukan hanya sekolah di luar keluarga. Namun yang terpenting adalah pendidikan dan pembelajaran di dalam keluarga itu sendiri. “Tentu PAUD memberikan kontribusi luar bisa dalam membentuk anak-anak dari dini. Tetapi jangan lupa pendidikan di dalam keluarga juga penting,” tutur Titik Hartini. Kata Titik, orangtua bisa menanamkan nilai-nilai kebaikan kepada anak mereka. Tentunya dengan cara yang mudah dan menyenangkan. “Menghargai mereka bermain, mengenalkan jenis-jenis permainan, mengasuh mereka dengan penuh kasih sayang, membangun solidaritas dengan anak lainnya,” ujar Titik Hartini. Cara-cara macam itu sangat membantu anak-anak untuk mengenyam pendidikan ke tahap berikutnya. “Menyelaraskan masa kecil mereka ke level belajar berikutnya,” tukas Titik Hatini.
Dorong Pelaksanaan Pendidikan Usia Dini
Pengalokasiaan anggaran jadi hal penting. Pasalnya bila dana tersedia, perencanaan dan program yang digulirkan pemerintah bisa berjalan maksimal. “Harus ada alokasi khusus buat Pendidikan Usia Dini. Alokasi anggaran 20% pendidikan di APBN habis buat bayar gaji guru,” sebut Koordinator Nasional CSOiEFA Titik Hartini. Dalam pelaksanaannya Pendidikan Usia Dini kata Titik Hartini, ada empat pilar penting yang menjadi landasan kuat. Pertama, memulai pendidikan usia dini sejak awal yaitu 0-3 tahun. Kedua adalah menyediakan peluang baru bagi penemuan dan pembelajaran usia 3-6 tahun. Dalam hal ini memastikan akses pendidikan anak-anak usia dini sebelum memasuki sekolah formal. Ketiga adalah memastikan lingkungan sekolah lebih ramah, apresiatif dan inklusif. Termasuk di dalamnya tenaga pendidik. “Guru mempunyai kapasitas yang baik dalam mengajar. Tak semua anak sama. Pengajarannya pun berbeda,” terang Titik Hartini.
Pilar yang terakhir adalah bagaimana pengembangan kebijakan pendidikan anak usia dini menjadi satu kesatuan dalam sistem pendidikan nasional. Cara terbaik adalah memulai dari sesuatu yang kita mampu. Semua pihak pun harus berbenah kaitanya dengan layanan Pendidikan Anak Usia Dini. “Pemerintah buatlah standarisasi baik kurikulum maupun gurunya. Masyarakat jangan pernah berhenti mendirikan taman-taman bermain,” saran Bekas Menteri Pemberdayaan Perempuan dan juga Penyelenggara Pendidikan Anak Usia Dini Khofifah Indar Parawangsa. Dengan begitu Pendidikan Usia Dini bisa terintegrasi dengan sistem pendidikan nasional. Mari ubah budaya yang menjadikan anak sebagai penanggung beban keluarga. Ada prioritas lain yang lebih penting. Pendidikan Usia Dini. “Pendidikan sedari dini. Bukan penanggung beban keluaraga. Kecil-kecil di suruh bekerja,” tegas Anggota KPAI Maria Advianti.
Perbincangan ini kerjasama KBR68H dengan Civil Society Organization initiative Education for All (CSOiEFA)
No comments: