PENDIDIKAN karakter, memang merupakan sebuah osrientasi pendidikan yang sejak lama kita cita-citakan dengan penuh kesetiaan. Pendidikan karekter, yang secara implisit termanifestasi dalam aspek keteladanan guru dan materi pelajaran yang sifatnya memiliki pelajaran akhlak terapan seperti pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan dalam kegiatan ekstrakurikuler sekolah sedikit banyak menumbuhkan pengharapan kita mengenai optimisme tercapainya pendidikan yang menyajikam out put sikap positif para pelajar. Setelah kita terlampau gagal dan lama berkutat dalam persoalan mengenai pendidikan kognitif-an sich, wacana mengenai pendidikan karakter membawa angin yang menyejukkan bagi dunia pendidikan kita.
Sayangnya, pendidikan karakter memang bukan semata proyek yang ringan dan sederhana. Membangun karakter tidak hanya dilakukan di dalam kelas semata, lebih dari itu, pendidikan akhlak positif dibina melalui kontinuitas kebiasaan baik, dan penanaman nilai-nilai positif. Lantas, bagaimana peran sekolah dalam mengupayakan pendidikan afeksi? Berbeda dengan pendidikan kognitif yang seringkali membutuhkan angka, pendidikan afeksi membutuhkan kebijakan guru agar setiap siswa terus menerus mendapat perlakuan yang apresiatif sehingga mudah bagi siswa untuk mendapatkan suasana yang ceria dalam belajar. Sekolah juga memiliki wewenang untuk mengatur siswa, menyusun tata tertib yang tidak hanya memberikan kata jangan dan dilarang, akan tetapi memberikan tata tertib berupa anjuran untuk berlaku santun.
Tentu tidak hanya berhenti pada tataran itu. Siswa juga hendaknya diberikan penilaian mengenai akhlak, dan mendapat pendampingan komunitas di sekolah. Pemilihan pengelola kegiatan ekstrakurikuler seperti pramuka misalnya, harus dipilih berdasarkan akhlak sang guru, sehingga hal ini akan menimbulkan resonansi positif dalam diri murid. Pendidikan afeksi memang dimulai dari akhlak yang bagus dari sang guru, sehingga praktis, siswa dapat dengan mudah mendapatkan model peran yang bermakna. Jika pemerintah memang serius dengan program pendidikan karakter, atau pihak sekolah sangat antusias, maka adalah pilihan cerdas ketika memulai atau meneruskan langkah dengan cara memberikan pembekalan konsep pendidikan afektif positif bagi siswa. Konsep konsistensi akan membenarkan hal ini. Mendidik karakter, harus didasarkan pada prinsip ini, karena jika tidak maka anak akan membaca inkonsistensi pengajar sebagai sebuah modal untuk menaruh rasa tidak percaya.
Pendidikan afek positf dapat tercapai manakala elemen pendidik mampu menjadi figur sentral keteladanan dan mampu memberikan rasa nyaman bagi siswa. Pendidikan afeksi, membutuhkan modal psikologis seorang guru daripada sekedar modal kognitif. Oleh karena itu, guru hendaknya mengambil peran sentral dan mengupayakan diri untuk menjadi figur teladan. Pendidikan afeksi, membutuhkan totalitas peran guru. Kita sangat khawatir melihat banyak anak dini merokok, melakukan tindakan kriminalitas, atau sekedar menyontek. Struktur kepribadian yang telah dibentuk sedemikia dini akan berakibat pada pola pikir, kepercayaan yang salah, kebiasaan yang salah, dan pribadi yang mulai membiasakan diri dengan akhlak negatif.
Dalam posisi ini seharusnya sekolah memiliki pengaruh yang kuat sehingga dapat mengarahkan anak didik untuk berperilaku santun, mengupayakan akhlak terpuji. Materi pelajaran PKN misalnya, sangatlah baik, akan tetapi belum dapat terinternalisasi dalam diri anak karena banyak faktor yang menghambat. Akhlak, tak sekedar hafalan yang dapat diupaykan secara berulang dan dilupakan dengan mudah. Pendidikan akhlak menjadi keluaran berupa perilaku yang dibentuk dari pola pikir, kebiasaan perilaku, dan spontanitas. Semua itu dibangun dengan cara membentuk lingkungan positif, dan perlakuan lembut yang diterima anak.
Pendidikan afeksi sangat mungkin. guru menjadi kunci utama pendidikan afeksi dalam sekolah. Sedikit mengutip Dorothy Law, "Jika anak diajarkan dengan pujian, ia akan belajar menghargai diri/jika anak diajarkan dengan celaan, ia akan belajar memaki/jika anak diajarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia akan belajar menemukan cinta dalam kehidupan/jika anak diajarkan dengan caci maki maka ia akan belajar mencela orang lain, jika anak diajarkan dengan rasa aman, maka ia akan belajar menaruh kepercayaan". Anak-anak memang belajar dari sikap pendidiknya. Lantas, kita bisa simpulkan bahwa entry point pendidikan afeksi sesungguhnya adalah upaya menjamin bahwa setiap pendidik memang memiliki akhlak dan kemampuan pedagogis atau juga andragogi yang baik.
Jika memang untuk mengupayakan dua hal itu diperlukan pelatihan, pertemuan dewan guru, bahkan trainning positive teaching, mengapa tidak? Mendidik akhlak ternyata jauh lebih penting karena itu adalag terapan kehidupan sehari-hari. Kita (masih) punya banyak waktu untuk mengupayakannya, juga sumber daya psikologis berupa niat yang lurus untuk pengabdian total pendidikan kita. Maka, kita terus menanamkan keyakinan bahwa pendidikan karekter, pendidikan afek positif, atau apapun namanya, dapat kita wujudkan sebagai suatu hal yang niscaya. Wallahu a'lam. (Nurul Lathiffah Sekretaris pada Lasiper Corner, Laboratorium Psikologi UIN Yogyakarta)
sumber: Galamedia
No comments: