Latest News

More

Kesejahteraan Dan Profesionalisme Guru

Posted by : Ki Juru Ketik on : Wednesday, May 18, 2011 0 comments
Ki Juru Ketik
Saved under :

Harus kita akui bersama bahwa masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang harus diselesaikan terkait dengan keberadaan para 'guru' ini. Namun, salah satu yang paling krusial adalah persoalan kesejahteraan dan profesinalisme mereka.Mendiskusikan persoalan pendidikan di Tanah Air, tak bisa dilepaskan dari tema 'guru' dan segala diskursus yang mengitarinya. Guru adalah simbol dunia pendidikan yang paling utama. Karena, dialah pahlawan tanpa tanda jasa yang patut diapresiasi.
Terpujilah wahai engkau Ibu Bapak guru. Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku. Semua baktimu akan kuukir di dalam hatiku. Sebagai prasasti trima kasihku untuk pengabdianmu. Engkau bagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa, tanpa tanda jasa.
Kutipan syair hymne di atas sangat indah dan penuh makna. Rasanya tak kuasa menahan keharuan tatkala menyanyikan lagu ini. Kita pasti teringat masa-masa kecil di kala SD, di bawah asuhan dan bimbingan ibu bapak guru yang begitu ikhlas mendidik kita. Syair lagu ini akan selalu dikenang sepanjang masa.
Namun, setelah sekian lama usia hymne ini, sebutan 'Pahlawan Tanpa Tanda Jasa', tetaplah hanya sekedar pemanis bibir bernuansa verbalisme. Guru hanyalah profesi mulia yang wajib disanjung saja tanpa apresiasi lebih lainnya. Dia terus dikesankan sebagai komunitas yang melakukan pekerjaan dengan ikhlas tanpa boleh bisa menuntut hak dan kesejahteraan yang semestinya. Akhirnya kata 'pahlawan' sekarang hanya menjadi sebuah kalimat yang tak ada nilainya.
Fakta menyebutkan, kesejahteraan guru secara umum hingga kini masih jauh dari cukup. Kesejahteraan dalam arti luas, bukan hanya persoalan gaji semata, melainkan lebih dari itu, yakni apresiasi fasilitas, pengembangan kapasitas (capacity building), perlindungan hukum, dan lain sebagainya.
Sebagian guru memang telah mendapatkan apresiasi sepantasnya, terutama yang berstatus PNS (pegawai negeri sipil) dan guru swasta favorit. Tapi, bagaimana dengan nasib guru lainnya yang hingga kini belum mendapatkan perhatian dan apresiasi selayaknya, seperti nasib lebih dari 440.000 guru honorer dan guru-guru nonhonorer lainnya yang belum jelas statusnya?
Jadi, tidaklah heran bila almarhum Prof Sunarno Surakhmad, dalam puisinya pada peringatan Hari Guru, beberapa tahun lalu menyindir kehidupan guru dengan kalimat, "Bolehkah kami bertanya, apakah artinya bertugas mulia, ketika kami hanya terpinggirkan, tanpa ditanya, tanpa disapa. Kapan sekolah kami lebih baik dari kandang ayam. Kapan pengetahuan kami bukan ilmu kedaluwarsa. Mungkinkah berharap yang terbaik dalam kondisi yang terburuk."
Sindirin ini memang sedikit 'nakal' tapi penulis yakin beliau hanya melempar kritik membangun agar perubahan yang signifikan atas nasib guru saat ini benar-benar diprioritaskan. Apresiasi sepantasnya bagi seorang pahlawan patriot bangsa.
Dedikasi seorang guru memang benar-benar tanpa pamrih. Coba tengok pengorbanan seorang guru di daerah terpencil yang rela menggowes sepeda puluhan kilometer demi sekedar untuk mengajar 20 orang murid, dengan gaji 600 ribu rupiah per bulan. Sungguh ironis memang!
Mereka sama sekali tak mengharapkan apa-apa. Seorang guru hanya ingin melihat anak-anak didiknya berhasil di masa yang akan datang. Maka dari itu, seharusnyalah pemerintah dapat memperjuangkan nasib guru ini, terutama faktor kesejahteraan berupa honorarium yang selayaknya. Tentunya dengan pola pemerataan yang baik bagi seluruh guru, baik guru PNS, honorer maupun nonhonorer sehingga terhindar dari kesan diskriminasi.
Selain faktor kesejahteraan, persoalan profesionalisme guru berupa kualitas keilmuan dan integritas seorang guru juga perlu ditingkatkan. Idealnya, seorang guru haruslah bersikap profesional dengan memiliki kemampuan akademis, kreativitas, dan keuletan dalam menjalankan profesinya. Maka dari itu, pengembangan keahlian, pengetahuan dan keyakinan untuk mengeksplorasi metode-metode baru, baik kompetensi pedagogig, sosial, kepribadian, dan profesional harus senantiasa ditingkatkan dalam rangka mencapai prestasi terbaik.
Namun, profesionalitas saja tidaklah cukup. Para guru juga dituntut meningkatkan integritas dan kejujurannya dalam memberikan teladan bagi para siswa-siswinya. Terungkapnya kasus plagiasi sebanyak 1.700 guru di Riau dalam memenuhi portofolio sertifikasi guru yang dirilis beberapa media massa, misalnya, adalah contoh kurang baik yang seharusnya tidak boleh terulang kembali.
Harus diingat bahwa tujuan sertifikasi itu sendiri sangat mulia. Yakni, dalam rangka meingkatkan harkat dan martabat guru agar profesi guru diakui sama dan sejajar dengan profesi lainnya. Oleh sebab itu, aspek kejujuran dan integritas kualitas diri juga perlu ditingkatkan demi menjadi teladan yang baik.
Melihat seluruh persoalan di atas, pemerintah diharapkan dapat terus aktif berupaya memperjuangkan nasib guru yang masih kurang baik ini. Di lain pihak, kualitas diri para guru perlu terus ditingkatkan agar lebih profesional dan berkarakter serta bertanggung jawab demi menghasilkan generasi muda yang bermutu, berkualiatas dan menjadi kebanggaan bangsa.
Dengan kesadaran seluruh stakeholder dunia pendidikan kita dalam rangka meningkatkan kualitas guru dan penghargaan terhadap status mereka maka prestasi pendidikan kita akan jauh lebih baik lagi. Semoga. ***
Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum, serta Peneliti CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sumber: Suara Karya, Rabu, 18 Mei 2011

Saved under :

No comments:

Leave a Reply