
CSOiEFA | AKSES perempuan, terutama anak perempuan dari keluarga miskin, memasuki perguruan tinggi (PT) masih sangat terbatas. Akses yang terbatas ini berujung pada terjadinya kesenjangan antara jumlah mahasiswa laki-laki dan perempuan yang menempuh pendidikan di PT.
Namun demikian, kesenjangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan hanya terjadi pada jenjang pendidikan tinggi. Pada tingkat pendidikan dasar (SD) hingga menengah (SMA/SMK) kesenjangan relaif teratasi.
“Persoalan kesenjangan akses pendidikan antara laki-laki dan perempuan sebetulnya tidak terjadi pada semua jenjang pendidikan, tapi yang lebih terasa adalah di tingkat perguruan tinggi (PT). Pada tingkat pendidikan dasar (SD-SMP) hingga sekolah menengah (SMK dan SMA) sebetulnya kesenjangan antara laki-laki dan perempuan tidak signifikan,” ujar pengamat pendidikan Darmaningtyas, dalam diskusi bertajuk “Saatnya Pendidikan untuk Perempuan dan Anak Perempuan” yang diselenggarakan Civil Society Organization initiative Eduacation for All (CSOiEFA), di Jakarta, Minggu (1/5).
Walau hanya terjadi pada jenjang pendidikan tinggi, tapi kesenjangan itu seolah telah “dikondisikan” sejak SD. Siswa perempuan dari keluarga miskin biasanya memilih sekolah murah dengan mutu rendah. Karena nilai ujian nasional (UN) rendah, maka mereka tidak bisa mendapatkan sekolah sekolah favorit dan berkualitas pada jenjang berikutnya. Pada akhirnya, siswa tersebut tidak bisa mendapat akses yang luas menuju perguruan tinggi yang berkualitas.
Darmaningtyas mengatakan, setelah lulus, perempuan, baik yang lulusan SMA maupun SMK jarang yang melanjutkan kuliah. Jika kuliah, mereka lebih banyak mengambil program diploma 1-3 yang dirasakan lebih praktis dan bisa cepat bekerja. Konsekuensinya, jenjang pendidikan tingkat S1 lebih didominasi oleh laki-laki, sedangkan tingkat program diploma didominasi perempuan. Kondisi ini, katanya, berpengaruh pada kesempatan mendapat pekerjaan. “Setelah lulus pun perempuan lebih banyak bekerja sebagai support system dengan gaji yang tentu kalah dengan mereka yang bekerja sebagai peneliti, konsultan, desainer, manajer, dan sejenisnya,”ujarnya.
Untuk mengatasi kesenjangan di tingkat perguruan tinggi itu, kata Darmaningtyas, pembenahan harus dilakukan mulai dari tingkat SMP hingga SMA, bukan hanya pada mekanisme rekruitmen di pendidikan tinggi saja. Siswa dari keluarga miskin, terutama perempuan, seharusnya diberi kesempatan mengenyam pendidikan di sekolah menengah berkualitas, sehingga kesempatan memasuki perguruan tinggi berkualitas juga terbuka.
“Orang miskin seharusnya dapat masuk SMP-SMA favorit yang dapat memperlancar akses bagi kaum miskin untuk masuk ke PTN. Sedangkan di PTN tidak boleh dikomersialkan. Masalah sekarang kapiltal telah menjadi penentu (tirani) bagi warga negara Indonesia untuk bersekolah atau tidak,”ujarnya. Very Herdiman
Penulis: Fransiskus Saverius Herdiman
Sumber: Jurnal Nasional
No comments: