Latest News

More

Posted on : Monday, July 23, 2012 [1] comments Label:

Refleksi Hari Anak Nasional 23 Juli 2012: Nasib Literasi Anak

by : Ki Juru Ketik
Zaman modern di Eropa abad XVIII tak lekas memunculkan kesadaran tentang konsep anak-anak. Revolusi mesin cetak dengan risiko peruntuhan otoritas pengetahuan elitis dan kemungkinan sebaran gagasan secara masif belum bergerak ke ranah kepentingan anak-anak. Pengetahuan publik luput memikirkan dunia anak-anak kendati diacukan pada teologi atau tradisi. Konsep anak-anak pun masih jauh dari struktur ilmu pengetahuan modern, politik, kebijakan pendidikan.

Konsep anak-anak baru muncul di abad XIX dengan penerbitan sekian buku cerita anak-anak. Cerita itu bermuatan pengajaran agama, fantasi petualangan, dan artikulasi nilai-nilai tradisi dalam struktur modern. Buku atau kultur literasi cetak dijadikan sebagai penyulut konstruksi dunia anak-anak. Kriteria-kriteria ditentukan untuk membuat definisi anak-anak dalam hal umur, bakat, kebutuhan, dan perlindungan. Literasi anak tumbuh sebagai tanda dari perhatian Barat atas anak-anak.

Keterlambatan itu fatal kendati tergantikan dengan proyek ambisius di Prancis, Inggris, dan Jerman untuk menjadikan literasi (sastra) anak sebagai penopang progresivitas peradaban modern. Persaingan produksi literasi anak disokong oleh kebijakan politik dan strategi kultural atas nama pamrih pembentukan identitas, karakter, dan nasionalisme. Negara memerlukan sebaran dan afirmasi nilai dalam literasi anak demi utopia pemartabatan diri di arus modernitas.

Martabat ditentukan sastra anak dan model pembuatan sistem ilmu pengetahuan berbasis anak. Gerakan selebrasi literasi sastra anak mengalir melalui pelbagai agen: keluarga, gereja, sekolah, penerbitan, perpustakaan, komunitas. Negeri-negeri itu besar berkat penguatan fondasi kultural dan identitas diri melalui literasi anak.

Sejarah

Bagaimana kebermaknaan sastra anak di Indonesia? Episode-episode sejarah perlu diajukan kembali untuk mencari pasang surut literasi anak dalam kegenitan politik dan keamburadulan strategi kultural. Christantiowati (1993) dalamBacaan Anak Indonesia Tempoe Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode 1908-1945 mengungkapkan bahwa bacaan anak di Indonesia cenderung mengutamakan pengajaran moral dan agama. Produksi bacaan tercetak ini menandai dari kemodernan untuk memberi perhatian terhadap dunia anak-anak. Bahan cerita diambil dari kitab suci, cerita-cerita terjemahan dari luar negeri, dan cerita-cerita lokal. Buku sebagai bentuk berkah revolusi mesin cetak dari Barat memungkinkan anak-anak di Hindia Belanda sejak abad XIX bisa ikut menikmati cerita-cerita terjemahan:Robinson Crusoe (Daniel Defoe) dan Mengelilingi Boemi dalam 80 Hari Lamanja (Jules Verne). Riris K Toha Sarumpaet (2010) menganggap ilustrasi historis itu membuktikan pertumbuhan literasi anak di Indonesia seiring dengan pertumbuhan literasi di Eropa dan Amerika.

Peran pemerintah kolonial ikut menentukan corak pertumbuhan literasi anak. Pembentukan sekolah-sekolah modern dengan kiblat Barat juga memicu produksi buku pelajaran dan bahan bacaan dalam bayang-bayang kolonialistik. Penerbitan Balai Pustaka menjadi corong politik literasi bagi anak-anak sebagai benih-benih penentu nasib bangsa. Jejak panjang kolonialistik bisa ditelisik melalui jenis-jenis terbitan buku bacaan anak-anak keluaran Balai Pustaka dengan bahasa Melayu, Jawa, Sunda, Batak, dan Madura. Keberadaan taman pustaka atau perpustakaan di pelbagai desa dan kota juga ikut membesarkan sastra anak pada 1930-an.

Buku Bab Woelangan Ndongeng ing Volkschool (1941) karangan M Crijns adalah contoh signifikansi sastra anak dalam lingkungan pendidikan (sekolah). Buku ini memberi uraian impresif tentang makna mendongeng untuk serapan ilmu pengetahuan, pengajaran moral, suluh perilaku, dan konstruksi karakter-identitas. Sekolah-sekolah dalam politik kolonial masa itu cenderung memberi jatah besar dalam pelajaran mendongeng atau penyediaan bahasan bacaan cerita anak-anak. Model pendidikan ini memberi pengaruh besar bagi kelahiran para intelektual, sarjana, atau pengarang di Indonesia. Mereka lahir dan tumbuh dalam kultur membaca, menulis, menyimak, dan bicara dengan bingkai sastra.

Petaka

Warisan pendidikan kolonial itu masih terasakan dalam penyediaan bacaan di sekolah rendah atau sekolah rakyat pada akhir tahun 1940-an sampai 1960-an. Kita bisa membaca ulang buku Tjenderawasih: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rendah (1949) susunan K ST Pamoentjak dan MJ Hakim, Tjahaja: Kitab Batjaan untuk Sekolah Rakjat(1951) karangan Johan van Hulzen, Jitno dan Jatni: Buku Batjaan Sekolah Rendah (1953) karangan M Sofion, Si Djarot: Lajang Watjan kanggo Sekolah Rakjat (1956) susunan NJ S Wojowasito dan NJ Srimoerjam, dan Sekar Mekar: Lajang Watjan ing Sekolah Rakjat (1959) karangan R Ng Reksoprodjo. Semua buku itu mengajarkan pelbagai hal dengan medium cerita, puisi, percakapan, teka-teki. Imajinasi dan nalar anak diajak bergerak dengan misi pembelajaran. Bacaan memberi refleksi atas pengalaman hidup keseharian.

Musim semi untuk anak-anak di sekolah masa lalu telah tergantikan dengan buku-buku pelajaran berat tapi melarat imajinasi. Sastra kentara tersingkirkan dalam model pembelajaran di SD, SMP, dan SMA. Buku-buku pelajaran Bahasa Indonesia mutakhir justru “menghinakan” alias “menepikan” sastra: tradisi dan modern. Pilihan materi puisi di buku pelajaran sudah tergantikan dengan lirik-lirik lagu dari Dewa 19, Padi, Peterpan, atau Katon Bagaskara. Murid semakin dijauhkan dengan manifestasi sastra karena alasan mendekatkan anak dengan dunia pop alias kontekstualisasi picisan. Lirik-lirik lagu pop dianggap akrab pada diri anak-anak.

Dongeng-dongeng anak tergantikan dengan materi-materi mutakhir ala sinetron dan program anak-anak di televisi. Ironi ini bukti ketidaksanggupan negara mengurusi ketersediaan bahan bacaan dan buku pelajaran untuk anak-anak. Petaka dari pengabaian atas literasi anak adalah kebangkrutan karakter dan biasa identitas. Isu merevitalisasi pendidikan karakter adalah bukti “kepicikan” dalam memajukan dunia pendidikan dan aplikasi strategi kultural berbasis literasi.

Zaman kolonial dan praktik pendidikan pada masa Orde Lama adalah pembelajaran terang untuk menengok dosa-dosa dalam mengorupsi, mengabsenkan, dan menelantarkan dunia anak-anak dalam urusan bacaan. Zaman sekarang adalah zaman berat. Literasi anak menjadi keterpencilan identitas dan rujukan karakter keindonesiaan. Selebrasi literasi telah berganti rezim hiburan dan imperatif rasionalistik demi meladeni “abad kecemasan”. Begitu.


Oleh: Bandung Mawardi, Pengelola Jagat Abjad Solo
Sumber: Solo Pos, 23 Juli 2012
Repost: Civil Society Organization initiative Education for All (CSOiEFA)

by : Ki Juru Ketik
CSOiEFA,Jakarta-Melalui Kongres Anak Indonesia XI pada tanggal 9-14 Juli 2012 di Batam, lalu, ada 8 butir pandangan anak Indonesia. Ini dia suara mereka.

Pembacaan hasil kongres dilakukan oleh Delegasi Anak Indonesia, I Gede Reza di kantor Komnas Perlindungan Anak di Jl TB Simatupang, Jakarta, Senin, (23/7/2012).

Berikut 8 butir pandangan anak tersebut:

1. Kami anak Indonesia mengusulkan kepada pemerintah agar pendidikan tentang kesehatan reproduksi remaja dimasukan dalam kurikulum pendidikan serta meningkatkan pengawasan terhada pornografi.

2. Kami anak Indonesia meminta kepada pemerintah untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik, pemerataan fasilitas pendidikan, menyediakan program wajib belajar 12 tahun secara gratis agar tercipta pemerataan kualitas pendidikan bagi seluruh anak Indonesia tanpa diskriminasi.

3. Kami anak Indonesia mengusulkan agar pemerintah melakukan pemerataan fasilitas. Sarana dan prasarana (listrik, transportasi, komunikasi) khususnya di daerah terisolir agar anak-anak yang terisolir dapat berinteraksi dengan teman-temannya yang berada di daerah lain.

4. Kami anak Indonesia memohon kepada pemerintah untuk membangkitkan kembali permainan tradisional dan edukatif Indonesia, serta mengawasi secara ketat pengaksesan game online dan siaran media elektronik yang tidak layak untuk anak.

5. Kami anak Indonesia memohon kepada pemerintah untuk meningkatkan pengawasan yang lebih ketat terhadap segala bentuk peredaran narkotika, psikotropika, miras dan zat adiktif lainnya, termasuk rokok sebagai bentuk perlindungan terhadap anak.

6. Kami anak Indonesia memohon agar pemerintah menyediakan layanan internet gratis khusus untuk anak-anak (mobil internet, rumah internet, user ID khusus anak) agar anak-anak di seluruh Indonesia saling terhubung.

7. Kami anak Indonesia memohon agar pemerintah dan masyarakat turut mendukung terpenuhinya hak partisipasi anak tanpa diskriminasi.

8. Kami anak Indonesia memohon agar pemerintah menindaklanjuti dan mengimplementasikan Suara Anak Indonesia dalam pengambilan kebikakan terkait anak.

"Setidaknya dari delapan butir suara anak indonesia yang dibacakan tadi pemerintah dapat mengimplementasikan, beberapa butir, sehingga acara hari anak dari tahun ke tahun dapat berjalan continous," ujar Gede.

Seharusnya Hari Anak Nasional diperingati hari ini. Namun karena padatnya jadwal presiden, perayaan tahun ini pun ditunda hingga September 2012. Hal ini disayangkan Ketua Umum Komnas PA Aris Merdeka Sirait.

(edo/mad)


Sumber: Detik, 23 Juli 2012
Repost: Civil Society Organization initiative Education for All (CSOiEFA)
Posted on : Friday, June 22, 2012 [0] comments Label:

Indonesia Kekurangan 15.000 Lembaga PAUD

by : Ki Juru Ketik
CSOiEFA, BOGOR - Indonesia masih kekurangan sebanyak 15.000 lembaga Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk memenuhi target angka partisipasi kasar PAUD pada 2014 sebesar 75 persen, demikian dikatakan Dirjen PAUDNI Kemdikbud Lydia Freyani Hawadi, Minggu.

"APK PAUD baru mencapai 34 persen, sehingga perlu kerja keras untuk mencapai target tersebut. Karena itu, Kami terus mendorong pemerintah daerah, khususnya bupati dan wali kota untuk mempercepat pengembangan lembaga PAUD sehingga tiap desa satu PAUD," kata Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan Informal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan saat menyampaikan pemaparan dalam Forum Wartawan pendidikan di Bogor, Minggu (17/6/2012).

Lebih lanjut dikatakannya layanan pendidikan anak usia dini berusia 0-6 tahun, saat ini baru mampu menjangkau sebanyak 15 juta anak usia dini dari jumlah 30 juta anak. "Setengah lainnya belum bisa mengakses pendidikan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah pusat dan daerah," katanya.

Ia mengatakan tidak mudah untuk mencapai target angka partisipasi kasar pendidikan anak usia dini 75 persen pada 2014, karena membutuhkan sarana dan prasarana memadai bagi pendidikan anak usia dini. Permasalahan guru PAUD juga menjadi kendala tersendiri.

"Guru PAUD yang sudah S1 saat ini belum banyak. Sementara pengasuh untuk tempat penitipan anak dan pembimbing di kelompok bermain umumnya hanya berijazah SMA. Padahal untuk pengasuh dan pembimbing harus ditambah dengan pendidikan PAUD tingkat dasar minimal," tuturnya.

Ditjen PAUDNI terus berupaya meningkatkan kesejahteraan para guru TK dan tenaga kependidikan PAUDNI dengan memberikan perhatian khusus kepada PTK PAUDNI yang mengabdikan diri di daerah perbatasan dan Tertinggal, Terdepan, serta Terluar (3T).

Reni mengatakan saat ini daya dukung APBN terhadap peningkatan kesejahteraan Pendidik dan tenaga kependidikan (PTK) PAUDNI belum optimal. Hal tersebut mengakibatkan pemerintah belum sanggup memenuhi tunjangan bagi seluruh guru TK di Indonesia.

Namun, bagi guru yang telah memenuhi syarat untuk menerima tunjangan profesi, pemerintah menjamin akan memenuhi hak mereka. Hingga Januari 2012, guru TK yang berhak mendapat tunjangan profesi berjumlah 10.602 orang. Sedangkan dalam DIPA Ditjen PAUDNI 2012 baru tersedia anggaran untuk 8.728 orang (82 persen).

Selain itu, pemerintah memiliki kepedulian untuk menargetkan satu desa satu PAUD, maka pada 2014 mendatang target pembangunan satu PAUD diharapkan tercapai. Untuk itu, Kemdikbud akan mendorong pemda mengembangkan lembaga PAUDNI pada tahun 2012 ini melalui alokasi anggaran sebesar Rp 3,1 triliun.

Dikatakannya, pihaknya akan mengusulkan ke DPR agar tahun depan diberikan alokasi tambahan anggaran dari Rp 3,1 triliun menjadi Rp 7 triliun. Penambahan anggaran tersebut diharapkan dapat untuk membangun PAUD di seluruh desa.

Ia menyatakan rasa optimistis, jika anggaran mencapai Rp 7 triliun, maka 15.000 PAUD sampai tahun 2014 bakal terbangun. "Jadi pada tahun 2013 akan dibangun 7.500 unit dan jumlah yang sama akan dibangun pada 2014," katanya.

Setiap unit PAUD bakal mendapat alokasi anggaran sebesar Rp 35 juta yang digunakan untuk pengadaan gedung dan sumber daya manusia. Alokasi dana bagi para pengajar PAUD dan taman kanak-kanak (TK) masih banyak yang belum sesuai standar, tambahnya.

Reni mengatakan, pendidikan anak bukan hanya tanggung jawab guru semata maka orangtua juga perlu mendapatkan materi tentang PAUD ini. Ditjen PAUDNI pun berupaya dan akan mengeluarkan prrogram pendidikan untuk keluarga. Pendidikan keluarga ini meliputi pendidikan pra nikah, ibu hamil dan pendidikan untuk orangtua.

"Pendidikan keluarga ini sedang di godok di dapurnya PAUDNI yaitu di Balai Pengembangan Pendidikan Non Formal dan Informal," tambah Reni.

sumber: Antara
Repost: CSOiEFA
by : Ki Juru Ketik
CSOiEFA, JAKARTA - Aktivis Koalisi Pendidikan, Febri Hendri mengatakan, saat ini pihaknya telah menerima sejumlah aduan tentang permasalahan dalam proses Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) untuk tahun ajaran 2012-2013. 

Aduan itu berasal dari beberapa daerah di Indonesia dan umumnya terkait masalah pembiayaan. "Ada sejumlah laporan yang kami terima, dan masih terus kami dalami," kata Febri kepada Kompas.com, Rabu (20/6/2012), di Jakarta. 

Dia menjelaskan, laporan mengenai masalah pembiayaan terjadi di sekolah berlabel Rintisan Sekolah Bertaraf Inernasional (RSBI). Baik pada jenjang SD, SMP, ataupun SMA. 

"Khusus di sekolah RSBI, ada laporan soal pembiayaan di semua jenjang," ujarnya. 

Sedangkan untuk sekolah reguler, Febri mengungkapkan rata-rata permasalahan terjadi pada tingkat pendidikan dasar (SD dan SMP). Hal itu terjadi karena banyak masyarakat miskin yang tidak mampu menyertakan akta kelahiran sebagai salah satu syarat masuk ke sebuah sekolah. 

"Banyak orang miskin yang tidak memiliki akta, dan itu juga menjadi masalah," ucapnya. 

Meski demikian, peneliti senior Indonesia Corruption Watch ini masih enggan membeberkan secara mendetail mengenai semua laporan yang diterima. 

Alasannya, ia bersama tim dari koalisi pendidikan masih terus melakukan verifikasi untuk mendalami permasalahan yang terjadi dalam proses PPDB. 

"Saat ini belum bisa kami sampaikan secara detail. Karena masih kami dalami, jika benar terbukti, minggu depan akan kita beberkan," pungkasnya.


sumber: KOmpas
REpost: CSOiEFA